Jumat, 01 Maret 2019

HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN) MENAATI ORANG TUA




HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN) MENYANGKUT MORAL 
(MENAATI ORANG TUA/ORANG YANG LEBIH TUA)

Oleh, Jerry H M Sumanti, STh

Sebagaimana telah dijelaskan lalu bahwa moral adalah salah satu hal yang diatur dalam hukum Taurat. Moral adalah berbicara mengenai praktik kehidupan, yakni mengenai baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; atau berhubungan dengan akhlak, budi pekerti dan susila

Peraturan menyangkut moral yang jelas diatur dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam hukum Taurat adalah mengenai kekudusan kehidupan sebagai umat Tuhan (Imamat 18 – 21). 

Peraturan-peraturan tersebut merupakan penjabaran tentang Hukum Taurat di dalam praktik kehidupan bangsa Israel sebagai umat pilihan, dan orang lain yang mengikuti bangasa Israel pada masa itu (Dispensasi Hukum Taurat). Sekarang kita tidak hidup dalam masa itu sehingga kita tidak diatur oleh peraturan-peraturan tersebut, namun bukan berarti kita membuang atau mengabaikan peraturan-peraturan tersebut. Kita tidak hidup di bawah Hukum Taurat bukan berarti kita mengabaikan peraturan-peraturan tersebut, namun prinsip-prinsip dari Hukum taurat dan peraturan-peraturan serta ketentuan-ketentuan terkait tetap mengingatkan kita untuk hidup sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, yakni hidup dalam kekudusan. Dalam Roma 3:31, Rasul Paulus menjelaskan bahwa hukum Torat tidak dibatalkan oleh karena iman, tetapi justru dengan iman orang percaya meneguhkannya.

Dalam tulisan lalu dua hal menyangkut moral ini telah dijelaskan yakni, tentang kekudusan perkawinan dan menoreh atau merajah tubuh. Peraturan mengenai moral  yang dijelaskan di dalam Imamat pasal 18 – 21 ini bukan hanya dua hal tersebut di atas saja, melainkan banyak hal. 

Beberapa hal dapat dijelaskan lagi di sini, antara lain:

Menaati orang Tua (Imamat 19:3; Keluaran 20:12; Ulangan 5:16). Peraturan ini merupakan ketentuan dalam Hukum Taurat. Sekarang kita tidak berada di bawah Hukum Taurat tetapi di bawah Kasih Karunia, bukan berarti hal menaati orang tua sudah tidak perlu lagi. Rasul Paulus menulis bahwa kita yang hidup di bawah Kasih Karunia tidak membatalkan Hukum Taurat melainkan meneguhkannya (Roma 3:21). Mengenai menaati orang tua, Rasul Paulus dalam Dispensasi Kasih Karunia (Anugerah) ini menuliskannya di dalam Efesus 6:1-3 dan Kolose 3:20.  

Menaati orang tua adalah kebenaran yang berlangsung secara horizontal, artinya kebenaran secara prinsip berlangsung terus menerus, tak terbatas pada masa atau dispensasi tertentu. Perintah kepada anak untuk menaati orang tua, harus bertolak dari bagaimana orang tua membimbing atau mendidik anak di dalam ajaran Tuhan. Perhatikan apa yang ditulis Rasul Paulus dalam Efesus pasal 6 dan Kolose pasal 3 tentang hal tersebut dan baca serta pelajari seluruh kitab Amsal tentang pengajaran anak menaati orang tua dan orang tua mengajar anak di dalam ajaran Tuhan.

Kamis, 28 Februari 2019

HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN) MENGENAI MORAL





HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN)
MENGENAI MORAL

Oleh, Jerry H M Sumanti, STh

Moral adalah salah satu hal yang diatur dalam hukum Taurat. Moral adalah berbicara mengenai praktik kehidupan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia KBBI, moral didevinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; atau berhubungan akhlak, budi pekerti dan susila.


Peraturan menyangkut moral yang jelas diatur dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam hukum Taurat adalah mengenai kekudusan kehidupan sebagai umat Tuhan (Imamat 18 – 21), yakni mengenai kekudusan perkawinan, kekudusan kehidupan moral secara menyeluruh, kekudusan para imam secara khususnya (Imamat 21). 


Perkawinan adalah lembaga kehidupan manusia yang pertama kali diatur di dalam Alkitab. Allah mencipatakan sepasang manusia menjadi suami istri, menempatkan mereka di taman Eden untuk menjadi partner Allah dalam mengelolah alam ciptaan-Nya. Kepada mereka diperintahkan untuk beranak cucu, bertambah banyak dan memenuhi bumi. Perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki untuk menjadi penolong yang sepadan, dan keduanya menjadi satu daging (Kejadian 1:27-29; 2:18-25).  

Perkawinan adalah lembaga yang suci bagi kehidupan sepasang manusia. Tetapi kesucian ini dirusak oleh dosa ketika manusia pertama jatuh di dalam dosa. Tuhan Allah hanya menciptakan sepasang manusia, lelaki dan perempuan menjadi suami istri (monogami), tetapi karena dosa sehingga manusia melanggar ketentuan ini. Orang pertama yang disebut dalam Alkitab yang mempunyai dua istri (berpoligami) adalah Lamekh (Kejadian 4:19). Kemudian Kejadian pasal 6 menceritakan mengenai kebebasan seksual, sehingga Allah murka dan membinasakan manusia dengan air bah (Kejadian pasal 7).

Kehidupan perkawinan/seksual terus digerogoti oleh dosa. Abraham sebagai bapa segala bangsa tidak terluput dari kehidupan perkawinan yang tidak kudus, atas permintaan Sarah istrinya karena kerinduan memiliki keturunan Abraham menikah Hagar sehingga lahir Ismail yang kemudian menjadi bencana bagi kehidupan keluarganya (Kejadian 16). 

Orang-orang di Sodom dan Gomora dimusnahkan karena kebejatan seksual (Sodom adalah istilah yang kemudian digunakan untuk menyebutkan mengenai hubungan seksual yang tidak wajar – Sodomi). Lot dan keluarga terpengaruh dengan kehidupan Sodom, anak-anaknya membuat ayahnya mabuk dan berhubungan sex dengan ayahnya demi memperoleh keturunan (Kejadian 19) (Yang melahirkan bani Moab dan Amon, yang kemudian menjadi musuh bangsa Israel yang harus dimusnahkan). 

Moral kehidupan perkawinan/seksual terus menjadi rusak, karenanya bangsa Israel sebagai bangsa pilihan untuk menjadi saluran berkat bagi bangsa-bangsa lain, diingatkan tentang hal tersebut dan diatur dalam ketentuan- ketentuan hukum Taurat. Moral kehidupan perkawinan/seksual harus dipulihkan kembali. Walaupun ketentuan hukum tentang hal terserbut sudah diberikan tetapi tetap saja peraturan ini dilanggar oleh manusia. Perzinahan, perselingkuhan, perkosaan, kawin cerai, poligami dan kebebasan seksual sampai berhubungan kelamin dengan binatang terus terjadi di dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan bangsa Israel sendiri yang menerima ketentuan dan peraturan tentang hal tersebut. Akibatnya bencana dan malapetaka dialami dalam kehidupan manusia. (Baca kembali Imamat 18 – 21). 

Poligami dan kawin cerai terjadi bukan karena Tuhan merestuinya, tetapi itu karena ketegaran hati. Matius 19:1-12 menjelaskan hal tersebut bahwa Tuhan tidak menghendaki adanya perceraian dan kawin mawin (tidak dibenarkan adanya kawin cerai). Tuhan menghendaki kekudusan perkawinan. Kekudusan Perkawinan berlaku bagi semua orang dan dibicarakan terus menerus sampai pada dispensasi sekarang ini (Dispensasi Anugerah). Perhatikan penjelasan Rasul Paulus mengenai perkawinan dan kehidupan keluarga yang kudus di dalam 1 Korintus pasal 5 dan 7, Efesus 5:22-32, Kolose 3:18-21. 


Selanjutnya Imamat 18-21 bukan hanya berbicara tentang kekudusan moral pernikahan tetapi juga menyangkut kekudusan kehidupan secara menyeluruh di dalam kehidupan orang-orang percaya. Salah satu yang disinggung adalah mengenai menoreh/merajah tanda-tanda pada kulit tubuh ini (Imamat 19:28; 21:5). Istilah yang dikenal sekarang mengenai menoreh atau merajah tanda-tanda pada kulit adalah “Tato”. Tato sudah ada sejak zaman dulu sebagaimana disebutkan dalam Imamat tersebut di atas, dan dilakukan oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan dilarang untuk dilakukan dalam kehidupan bangsa Israel. Apabila melakukannya (sama halnya dengan melanggar perkawinan) dianggap melanggar kekudusan Allah. 



Sekarang lagi tren tentang penggunaan “Tato” dalam kalangan muda untuk dipakai sebagai media penginjilan. Sehingga ada anak-anak muda yang tubuhnya di toreh dengan simbol-simbol Kristen (Gambar wajah Yesus, Salib, ayat Alkitab dan simbol-simbol lainnya) dan anting di sana-sini (di telinga, alis mata, hidung, mulut, dll). Kelihatan menarik dan ngetren karena dihubungkan dengan penginjilan, tetapi perhatikanlah penjelasan dalam Imamat tersebut di atas, bahwa itu dianggap sebagai melanggar kekudusan Allah. Mungkin ada yang akan berkata bahwa itu pada zaman Hukum Taurat. Benar itu perintah pada zaman Hukum Taurat bukan berarti sudah dapat diabaikan. Di dalam Perjanjian Baru dan atau dalam Dispensasi Anugerah ini memang tidak ada ayat yang gamblang tentang hal itu tetapi Rasul Paulus menjelaskan bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup. Kudus dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1-2). Bukankah dengan menoreh-noreh tubuh ini sama dengan merusak karya ciptaan Tuhan yang menjadi bait-Nya yang kudus (1 Korintus 3:16-17) dan itu disejajarkan dengan percabulan, perzinahan, penyembahan berhala bahkan mempersembahkan korban kepada Molokh (Perhatikan penjelasan dalam Imamat dan bandingkan dengan 1 Korintus 6:12-20 dan 2 Korintus 6:11-7:1). 



Kita tidak berada di bawah Hukum Taurat, tetapi berada di bawah Kasih Karunia (Anugerah). Segala tuntutan Taurat telah digenapi/dibatalkan melalui pengorbanan Tuhan Yesus disalib sekali untuk selama-lamanya (Efesus 2:14; Kolose 3:14-15; Ibrani 10:10) bukan berarti prinsip-prinsip kehidupan kudus yang diatur dalam Hukum Taurat dapat kita abaikan. Kekudusan hidup secara menyeluruh ditekankan untuk dilakukan dalam sepanjang kehidupan percaya selagi kita di dunia ini. Hidup kudus bagi kemuliaan Tuhan.

Rabu, 30 Januari 2019

HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN) PERSEMBAHAN


Gambar terkait
HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN)
PERSEMBAHAN

Oleh: Jerry H M Sumanti, STh

Melalui pembelajaran dispensasi, kita didorong untuk belajar dan diajar untuk membagi, menempatkan dan menjalankan Firman Allah (Alkitab) itu pada proporsi yang benar dan tepat (2 Timotius 2:15). Alkitab Firman Allah dari Kejadian sampai Wahyu adalah berita dan pengajaran dari Allah yang berkesinambungan yang menjadi otoritas mutlak bagi kehidupan percaya, tidak saling bertentangan melainkan saling melengkapi dan menggenapi. Allah adalah Kebenaran, dan melalui Alkitab kita menemukan ada dua kebenaran Allah yang mengatur kehidupan manusia yakni: 1) Kebenaran secara Vertikal: Kebenaran Vertikal adalah Kebenaran Allah yang dinyatakan Allah dan berlangsung dalam setiap dispensasi. Kebenaran-kebenaran tersebut berbeda atau berubah dalam setiap dispensasi. 2) Kebenaran secara Horisontal: Kebenaran Allah yang dinyatakan Allah dan berlangsung terus menerus serta dikuatkan dalam keseluruhan dispensasi.


Marilah kita perhatikan sesuai dengan dispensasi-dispensasi mengenai korban-korban persembahan yang telah disebutkan dalam tulisan tersebut di atas.
 
1.    Kulit Binatang dalam Kejadian Pasal 1 hanya sekali saja dalam dispensasi Kesucian dan tidak diulang lagi dalam dispensasi yang lain. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Allah sendirilah secara langsung yang melakukan hal ini bagi Adam dan Hawa untuk menutupi ketelanjangan mereka. Pengorbanan binatang ini melukiskan  tentang pertolongan Tuhan dalam ketidak-berdayaan manusia mencari keselamatan/perlindungan. Pengorbanan binatang ini adalah symbol pengorbanan Tuhan Yesus sekali untuk selamanya bagi keselamatan manusia. Sudah digenapi di kayu salib.

2.    Persembahan Kain dan Habel hanya dalam dispensasi Keinsyafan. Walaupun banyak penafsir Alkitab merujuk pada jenis persembahan yang diberikan sebagai yang berkenan kepada Tuhan, namun secara konteks penekanan pada persembahan ini bukan pada jenisnya, melainkan pada motivasi dan keadaan hati orang yang memberi, Kain digambarkan memiliki hati yang jahat, sedangkan Habel dengan hati yang beriman (Kehidupan Habel benar di hadapan Tuhan karena imannya).

3.    Korban-korban persembahan binatang. Korban persembahan ini pertama kali disebut dilakukan oleh Habel (dispensasi Keinsyafan); kemudian oleh Nuh setelah air bah (dispensasi Pemerintahan Manusiawi)(Firman Tuhan disampaikan kepada Musa dan menuliskannya sudah pada zaman Dispensasi Hukum Torat sehingga dipengaruhi dengan sebutan halal dan haram; selanjutnya pada zaman Abraham (dispensasi Perjanjian) dan kemudian diteguhkan dalam dispensasi Torat (perhatikan kembali mengenai korban-korban ini sebagai mana telah disebut dalam tulisan-tulisan yang lalu). Semua korban-korban persembahan ini merupakan bayangan mengenai satu korban sekali untuk selamanya yang telah digenapi di dalam Kristus Yesus. Ia adalah kegenapan semua tuntutan dan syarat peraturan dalam Hukum Torat.

4.    Persembahan persepuluhan. Telah disebutkan dalam tulisan lalu bahwa pertama kali disebutkan pada zaman Abraham ketika memberikan persepuluhan kepada Imam Melkisedek (dispensasi Perjanjian), kemudian persembahan ini diteguhkan dalam Torat (dispensasi Hukum Torat) sebagai kewajiban kesebelas suku bangsa Israel untuk diberikan kepada suku Lewi. Suku Lewi tidak mendapatkan pembagian warisan tanah untuk dikelolah karena mereka dipilih Tuhan khusus untuk menjadi pelayan-pelayan di Kemah Pertemuan/Kemah Suci/Bait Allah (menjadi Imam-imam). Karena 11 suku yang lain harus menunjang kehidupan mereka melalui persembahan persepuluhan. Masing-masing memberi persepuluhan, maka terjadilah keseimbangan dalam kehidupan bangsa Israel secara jasmani dan rohani. Sebelas Suku menunjang kehidupan financial satu Suku, sedangkan satu Suku melayani kehidupan kerohanian sebelas Suku. Selanjutnya pada zaman Para Rasul bukan hanya persepuluhan diberikan tetapi lebih dari itu, orang percaya menjual semua harta benda mereka kemudian diberikan kepada para Rasul yang selanjutnya dibagi rata untuk semua orang percaya pada waktu itu dan orang-orang percaya semakin ditambah-tambahkan. Tidak ada yang kelebihan dan tidak ada yang kekurangan. Tetapi perkembangan selanjutnya sebagaimana pada bangsa Israel sebelumnya kehidupan manusia menjadi egoisme dan mementingkan diri sendiri, sehingga Allah membenci semua bentuk dan jenis persembahan yang mereka berikan, demikian pula dalam perkembangan gereja sehingga dalam Kisah Para Rasul Lukas menulis bahwa lebih baik memberi dari pada menerima (Kisah 20:35), Dalam 2 Korintus 9 Paulus menegaskan tentang prinsip memberi, 1) memberi menurut kerelaan, 2) tidak dengan sedih hati, 3) bukan karena paksaan, 4) bukan karena hanya untuk memenuhi peraturan yang berlaku, 5) memberikan harus dengan sukacita


Berdasarkan prinsip memberi Paulus meneguhkan dan menekankan tentang motivasi memberi harus benar-benar memberi karena mengasihi Tuhan bukan karena mengharapkan supaya mendapatkan lebih banyak dari apa yang diberikan. Dan Rasul Paulus mengajarkan yang kuat wajib menanggung yang lemah, yang berkelebihan harus membantu yang berkekurangan, supaya prinsip keseimbangan tetap terus terpelihara. Itu tujuan dari memberi termasuk dengan memberi persepuluhan. Jadi tidaklah salah orang percaya memberi persepuluhan dari hasil jerih lelahnya, bahkan memberi persembahan (dalam bentuk apa saja) merupakan kewajiban yang harus dipenuhi setiap orang percaya yang benar-benar mau melayani dan mengasihi Tuhan dan sesama. (Bersambung).

HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN


Gambar terkait

HUKUM-HUKUM (KETENTUAN DAN PERATURAN)
PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN

Oleh: Jerry H M Sumanti, STh.

Persembahan persepuluhan adalah persembahan sepersepuluh dari hasil usaha yang diperoleh. Persembahan persepuluhan ini dalam Alkitab pertama kali dibicarakan di mana Abraham bapa leluhur memberikan sepersepuluh dari hasil jarahan kepada Imam Melkisedek (Ibrani 7:2, 4) Kemudian pada bangsa Israel untuk suku Lewi yang menerima jabatan Imam dan mendapat tugas pekerjaan pada Kemah Pertemuan (Kema Suci/Bait Allah) menurut Hukum Torat (Ibrani 7:5; Ibrani 18:21).

Persembahan persepuluhan ini yang kemudian diteguhkan menjadi bagian dalam hukum-hukum (ketentuan dan peraturan) peribadatan bangsa Israel turun-temurun. Apabila tidak memberikan persembahan persepuluhan maka bangsa Israel dianggap tidak memelihara ketetapan Tuhan bahkan dinyatakan sebagai menipu Tuhan, tetapi berkat Tuhan mengalir kepada mereka yang mematuhinya (Perhatikan apa yang ditulis dalam Maleakhi 3:6-12 tentang persembahan persepuluhan; dan Imamat 27, Bilangan 18, Ulangan 14:22-29 tentang peraturan pemberian persembahan). 

Disamping persembahan persepuluhan, dalam bagian-bagian kitab tersebut dibicarakan juga mengenai persembahan khusus, persembahan nazar, persembahan sukarela dan sebagainya. Itu semuanya menjadi peraturan yang harus dipelihara oleh bangsa Israel dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Israel pada waktu itu adalah bangsa yang system kepemerintahannya adalah Teokrasi, pemerintahan langsung dari Allah. Bangsa yang dipilih Tuhan untuk menjadi saluran berkat bagi banyak bangsa seperti dijanjikan-Nya kepada Abraham, Ishak, Yakub, bangsa yang segala peraturannya berasal langsung dari Tuhan.

Persembahan persepuluhan kemudian menjadi bagian dalam peraturan, Hukum Torat yang harus dijalankan dengan semestinya oleh bangsa Israel. Namun perlu diingat bahwa pemberian persembahan persepuluhan bukan dimulai nanti pada bangsa Israel dalam dispensasi Hukum Torat, tetapi persembahan persepuluhan sudah ada sejak Abraham (dispensasi Perjanjian) dan kita tidak mengetahui latar belakangnya, tidak ada peraturan yang mengaturnya, hanya diceritakan bahwa Abraham memberikan persepuluhan kepada Imam Allah, Raja Salem, Melkisedek. Dalam kitab Ibrani Meelkisedek diidentikkan dengan Kristus sebagai Imam Besar, Imam Agung.


Dalam Dispensasi Anugerah sekarang ini, Rasul Paulus tidak menyinggung secara gamblang mengenai persembahan persepuluhan ini. Rasul Paulus membicarakan dan menulis mengenai pemberian persembahan sebagaimana dijelaskan dalam 2 Korintus pasal 9, yaitu memberi persembahan menurut kerelaan, tidak dengan sedih hati dan atau karena paksaan melainkan dengan sukacita. Di sini Rasul Paulus menjelaskan mengenai motivasi seseorang dalam memberikan persembahan sebagaimana juga disebutkan dalam Yesaya pasal 1:10-20. Sama halnya dalam kitab-kitab Injil, Tuhan Yesus mencelah para ahli Torat dalam memberi persembahan di Bait Allah, yang memberi dengan motivasi mendapat pujian dari banyak orang, dan memuji janda miskin yang memberi sedikit namun dengan kerelaan.



Ada pendapat bahwa, kasih seseorang terhadap Tuhannya tidak dapat diukur berdasarkan berapa besar dan banyaknya materi yang dipersembahkannya kepada Tuhan, melainkan oleh karena motivasi orang tersebut memberi apakah karena mengasihi Tuhan atau tidak. Penulis sangat setuju dengan pendapat tersebut.

Selanjutnya mari kita kembali ke persoalan persembahan persepuluhan tersebut di atas. Perhatikan kembali penjelasan Paulus tentang pemberian persembahan dalam 2 Korintus pasal 9 tersebut di atas, Paulus menjelaskan bahwa apabila seseorang memberi persembahan, 

1) harus memberi menurut kerelaan, 
2) tidak dengan sedih hati, 
3) bukan karena paksaan, 
4) bukan karena hanya untuk memenuhi peraturan yang berlaku, 
5) memberikan harus dengan sukacita

Jadi yang ditekankan oleh Rasul Paulus di sini dalam soal memberi adalah motivasi dari memberi itu sendiri, bukan karena berapa besar atau banyak jumlah yang diberikan. Kalau begitu apakah dengan berdasarkan surat Rasul Paulus tersebut persembahan persepuluhan sudah dibatalkan? Penulis mengamati bahwa apa yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat Korintus tersebut di atas tidaklah  bermaksud untuk membatalkan pemberian persepuluhan. Penulis berpendapat bahwa dengan penjelasan tersebut Rasul Paulus tidak bertujuan membatalkan pemberian persepuluhan, justru pernyataan Paulus tersebut meneguhkan tentang hal tersebut dan Rasul Paulus mau mengingatkan supaya setiap orang percaya apabila memberi haruslah memberi dengan segenap hati bukan karena sekedar memenuhi peraturan hukum, karena mereka memberi adalah untuk pekerjaan pelayanan dan memberi karena mengasihi Tuhan, termasuk di dalamnya adalah memberikan persembahan persepuluhan, dan pemberian persepuluhan ini merupakan persembahan minimum yang harus diberikan oleh semua orang percaya yang menerima berkat dari Tuhan. Tuhan memberikan kepada kita 100% dan Tuhan meminta dari kita 10%. Lebih dari 10% yang diberikan digolongkan sebagai persembahan-persembahan khusus dan sukarela. Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan akan selalu memberkati setiap orang yang memberi berdasarkan penjelasan Rasul Paulus tersebut di atas, yang juga sudah dibicarakan dalam dispensasi-dispensasi sebelumnya (terutama dalam dispensasi Perjanjian dan Torat).

Melalui pembelajaran dispensasi, kita didorong untuk belajar dan diajar untuk membagi, menempatkan dan menjalankan Firman Allah (Alkitab) itu pada proporsi yang benar dan tepat (2 Timotius 2:15). Alkitab Firman Allah dari Kejadian sampai Wahyu adalah berita dan pengajaran dari Allah yang berkesinambungan yang menjadi otoritas mutlak bagi kehidupan percaya, tidak saling bertentangan melainkan saling melengkapi dan menggenapi. (Bersambung).